KOTA MATI
Kesenjangan sosial yang terjadi
di kota-kota besar memang bukan hal baru. Perubahan tata kota seiring dengan
berlalunya waktu dapat mengubah pula kepribadian penghuninya. Perkembangan
zaman memang tidak bisa dihindarkan, hiruk pikuk kota menjadi hal biasa. Hal
tersebut menjadi gambaran dalam naskah drama Kota Mati karya Dwiyanto yang
ditulis dengan cukup ringkas dengan lakon-lakonnya yang nyata. Disertai dengan
bahasanya yang lugas dan langsung tanpa bertele-tele sehingga mudah dipahami
alur ceritanya. Kemegahan kota tidak bisa menyembunyikan sejuta kisah
didalamnya. Dibalik gedung-gedung tinggi dan mobil-mobil mewah, banyak
kehidupan pahit di sekitarnya. Keramaian kota menyisakan orang-orang miskin dan
tunawisma sebagai orang yang terbuang. Kepedulian menjadi hal yang sangat
langka.
Naskah drama yang ditulis oleh
Dwiyanto ini menceritakan sepenggal kehidupan sebuah keluarga tunawisma yang
terpinggirkan dari kehidupan di kota. Haryo mewakili tokoh tunawisma, ia
bersama adik dan ibunya tinggal di sebuah gerobak tua. Kehidupan keluarga Haryo
yang selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain membuat mereka tahu
betul tabiat penghuninya. Bukan hal yang tabu bahwa tingkat individual
orang-orang kota memang cukup tinggi, ketidakpedulian menjadi hal yang biasa,
dan kebiasaan inilah yang harus mereka bayar mahal di kemudian hari.
Mengikuti hukum alam, yang menang
adalah mereka yang kuat, dan di kota mereka yang kuat adalah mereka yang
mempunyai uang. Bagi mereka dengan uang mereka bisa membeli apapun dan siapapun.
Sementara orang yang tidak berpunya bagi mereka hanyalah menjadi sampah-sampah
kota yang harus segera dihilangkan dari kehidupan mereka. Haryo dan keluarga
menjadi tokoh yang dianggap sampah kota. Dimanapun mereka berada, hanyalah
cacian dan hinaan yang mereka dapatkan. Karena mereka tak punya uang, tak ada
yang mereka bisa lakukan. Karena di kota, uang adalah rajanya. Raja yang telah
membunuh nurani para penghuninya.
Ibu Haryo yang sedang sakit hanya
tinggal di dalam gerobak yang selalu Haryo dorong kemanapun ia pergi. Sudah
menjadi pepatah bahwa orang misikin tidaklah boleh sakit, karena sakit itu
mahal. Memang kesehatan adalah menjadi hal paling mahal, karena uang belum
tentu mampu mengobatinya. Gerobak yang difungsikan sebagai rumah menggambarkan
bahwa kehidupan orang miskin dan tunawisma memang tidak menentu. Rumah gerobak
menggambarkan bahwa mereka harus membawa kehidupan mereka berpindah-pindah.
Ketika mereka terusir dari satu tempat, maka mereka harus pergi ke tempat lain
tanpa arah yang jelas. Tidak seperti
orang-orang kota yang punya rumah sebagai tempat untuk kembali. Karena
kota bukanlah rumah bagi Haryo dan keluarganya. Perkotaan bagi mereka hanyalah
jalanan panjang yang tiada berujung yang membuat mereka terus berjalan
menyusurinya.
Kemalangan Haryo dan keluarga
kembali terlihat ketika mereka terusir karena amarah sang penjual yang tak
terelakan. Kata-kata kasar keluar begitu saja dari mulutnya tanpa belas
kasihan. Sikap sang penjual yang selalu menghitung untung rugi menggambarkan
bahwa kebanyakan orang kota memang materialis dan individual. Ibu Haryo yang
sakit tak menjadi alasan yang kuat bagi si penjual agar mereka tetap bertahan
di tempat tersebut. Lagi lagi takdir tak berpihak pada Haryo dan keluarga,
setelah mereka diusir kemudian mereka harus menerima kenyataan bahwa ibu mereka
telah tiada. Seperti cadas di laut, Haryo tetap bertahan meski diterjang oleh
ribuan ombak.
Dalam naskah drama Kota Mati,
sikap moral yang disarankan kepada pembaca adalah rasa empati. Haryo hanya
menginginkan suatu hal yang diharapkannya sejak dulu, yaitu kepedulian dan rasa
empati penduduk kota terhadap keberadaan dirinya dan keluarganya. Sebenarnya
hal yang dirasakan Haryo adalah suatu yang bersifat wajar dan universal. Namun,
keinginan Haryo untuk tetap tinggal di kota dianggap sebagai sesuatu yang
sangat merugikan warga kota karena bau yang berasal dari mayat ibunya. Bagai
kanker yang terus menggerogoti penderitanya, Hansip sebagai warga kota terus
menyudutkannya untuk pergi dari kota tersebut. Ibunya dianggap sebagai faktor
munculnya belatung yang memenuhi kota. Kali ini takdir berkata lain,
kesombongan warga kota memporak-poranda apa yang mereka ciptakan. Belatung yang
menggerogoti tubuh warga kota tak mendekati seujung jaripun Haryo dan Lukman
adiknya.
Pengusiran demi pengusiran yang
kasar berganti menjadi sebuah permohonan yang diikuti dengan penawaran agar menolong mereka. Tetapi, semua yang
mereka tawarkan hanya sebuah ilusi penawaran yang mereka tawarkan bisa berubah
menjadi malapetaka untuk Haryo dan adiknya di kemudian hari. Rasa iba yang
dirasakan Haryo tandas ketika ucapan yang semula lembut kembali menjadi kasar
saat ia bimbang dengan pilihan yang ada. Oleh karena itu Haryo dan Lukman pergi meninggalkan kota , menyusuri jalanan
dan mengabaikan warga kota dan kota itu yang siap untuk terkubur jutaan
belatung.
Drama
Kota Mati adalah sebuah drama yang menyingkap sisi lain dari gemerlap kehidupan
warga di kota. Kemiskinan yang tetap ada di sela-sela kehidupan manusia memang
tak bisa disingkirkan begitu saja. Karena kemiskinan dan para gelandangan hanya
dapat ditangani dengan rasa kepedulian, saling membantu sehingga tercipta
tatanan kota yang semestinya, kota yang didalamnya tercipta hubungan sinergis
antara sesama penduduknya. Permasalahan kesenjangan sosial yang terjadi juga
merupakan akibat dari perilaku penduduknya sendiri. Seandainya sikap kepedulian
dan tenggang rasa masih tertanam maka tak perlulah para tunawisma harus
terusir. Setidaknya jika sikap kepedulian masih ada, maka dapat menepis kesenjangan
sosial yang ada dengan saling tolong menolong.
Dalam
drama kota mati ini, pengambaran karakter yang dilakukan lakon dianggap sedikit
berlebihan karena dalam cerita ini digambarkan kota tersebut lenyap karena
tertimbun ribuan belatung. Meskipun dalam drama ini menceritakan sebuah kota
yang penduduk nya sudah tidak memiliki rasa
keperdulian, tetapi sikap yang ditujukan kepada keluarga haryo sangat
berlebihan , hal ini dilihat dari percakapan yang ada antara keluarga haryo
dengan warga kota (hansip dan penjual lesehan).
Naskah
drama Kota Mati menunjukan bahwa setiap manusia tidak boleh menganggap rendah
orang lain karena status sosialnya. Keperdulian dan rasa empati terhadap orang
lain harus kita miliki karena kita tidak akan mengetahui apa yang terjadi di
waktu yang akan datang. Roda kehidupan akan terus berputar, suatu saat kita
bisa diatas dan kemudian barada dibawah.
Setiap perbuatan manusia pasti akan ada balasannya, karena setiap yang
menanam maka dia pula yang akan menuainya.
Dari
paparan tadi dapat disimpulkan bahwa naskah drama Kota Mati memungkinkan kita
bicara mengenai kesenjangan sosial ekonomi melalui penokohan tunawisma. Naskah
drama ini menawarkan kondisi masyarakat dalam merespon kesenjangan sosial yang
ada dibalik kota yaitu sikap acuh tak acuh terhadap orang sekitar.
0 komentar:
Posting Komentar